Rabu, 11 November 2009

Calon Independen, Dinamika Baru Politik Bima

Kota Bima, Bimeks.-
Fenomena munculnya figur calon independen dalam kompetisi Bupati dan wakil Bupati Bima tahun 2010 mendatang, dinilai bagian gambaran dinamika baru dalam dunia politik di Bima. Demikian penilaian akademisi STISIP Mbojo Bima, Drs Arif Sukirman, MH.
Menurut Arif, munculnya kandidat calon independen dapat menjadi pilihan baru bagi masyarakat, karena selama ini hanya figur yang diusung partai politik (Parpol) yang selalu dipilih. “Walaupn kita tahu demokrasi di negara ini yang paling lemah, tapi dalam proses perebutan kekuasaan, dengan adanya calon independen memberikan pilihan bagi masyarakat,” ujar Arif di kampus setempat, Selasa (10/11).
Selain itu, alumnus Universitas Mataram (Unram) ini menyatakan, fenomena ini juga bisa mengurangi ruang gerak aktifis partai atau sifat mutlak (absolut) partai dalam menarik figur calon Bupati dan Wakil Bupati. “Terbuka peluang demokrasi, terlepas dilihat dari figur dan saya yakin dengan ini partai politik tidak dengan absolut semena-mena terhadap figur. Figur tak mesti membayar partai lagi,” katanya.
Lalu bagimana peluang calon independen memenangkan pertarungan? Menurut Arif, calon melalui jalur ini bisa saja memiliki kans yang sama dengan calon yang diusung Parpol dengan mencermati kondisi politik masyarakat saat ini. Selama ini, masyarakat bisa jadi tampak jenuh dengan figur-figur yang ditonjolkan atau diusung partai, sehingga membutuhkan warna atau pilihan baru.
Hanya saja, diingatkannya, calon independen tak boleh lantas berada “di atas angin” karena membutuhkan banyak proses yang harus dimiliki dan dilalui. Apalagi, fenomena munculnya calon independen bisa dimanfaatkan oleh makelar politik yang ingin menarik keuntungan dari kondisi itu.
Secara umum, kondisi yang tampak saat ini banyak pihak yang cenderung menjadi makelar politik. Awalnya, memastikan calon itu mendapat dukungan masyarakat, padahal hanya memanfaatkannya untuk menarik keutungan. “Saya melihat kondisi masyarakat saat ini cenderung menjadi makelar politik. Bukan demokrasi lagi yang dikejar, tapi profit oriented dari kegiatan itu,” katanya.
Dikatakannya, agar tidak terjebak dalam kondisi itu, sejumlah calon yang ingin maju melalui jalur independen harus interospeksi dan mawas diri, meskipun setiap orang memiliki hak sebagai aplikasi demokrasi. “Walaupun itu adalah bagian dari demokrasi dan adalah hak personal, jangan sampai terjebak dari awalnya kita makan tiga kali sehari, namun berubah satu kali sehari karena kita maju sebagai calon independen. Semuanya harus diperhitungkan,” ujarnya.
Dari gambaran politik saat ini, Arif menganalisis, saat mendekati pelaksanaan Pemilu bakal muncul aksi aktifis Parpol yang berupaya menghalangi langkah para calon independen lebih awal. Salah satunya dengan cara oportunis. Memanfaatkan kelemahan syarat atau ketentuan harus mengantungi dukungan minimal 25 ribu masyarakat pemilih.
“Para aktifis Parpol itu akan memainkan perannya, misal calon independen sudah mengantungi KTP 25 ribu, bisa saja muncul error misalnya 10 orang itu bisa menjadi celah bagi aktifis parpol menghalangi calon independen,” katanya.
Dia menilai, hingga saat ini baru muncul figur yang dikenal dalam kalangan tertentu saja. Belum ada bakal calon atau figur yang benar-benar merakyat. Padahal, figur ideal harus merupakan sosok mendahulukan kepentingan masyarakat umum, tidak egois atau mementingkan diri sendiri.
Katanya, dalam teori kepemimpinan, pemimpin ideal harus memiliki tiga fondasi, yakni visi abstrak, kepekaan terhadap dinamika sosial dalam masyarakat, dan kesimbangan (intelektual) emosional. “Calon seperti itulah yang belum saya lihat sampai saat ini, malah yang ada figur yang tak paham demokrasi. Saat ini, apa kata Bos, apa kata Babe seakan aturan, mau diapakan daerah ini,” katanya. (BE.17)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar