Minggu, 25 Oktober 2009

Terlibat Sengketa Tanah, Anggota Dewan jadi Tersangka

Kota Bima, Bimeks.-
Anggota DPRD Kabupaten Bima, Al belum lama ini ditetapkan oleh Polresta Bima sebagai tersangka dugaan penipuan bermotif penjualan tanah roa (tanah kerajaan, Red). Penetapan itu setelah polisi memeriksa korban Fatima Hase (70 Tahun) ibu rumah tangga (IRT). Hal itu diungkap Kepala Satuan (Kasat) Reserse dan Kriminal (Reskrim) Polresta Bima, Ajun Komisari Polisi (AKP) Yuyan Priatmaja, SIK.
Dikatakannya, sebelumnya juga pihaknya sudah memeriksa sejumlah saksi dan anggota dewan. Penetapan anggota DPRD Kota Bima dari Partai Amanat Nasional (PAN) itu sebagai tersangka, setelah polisi menerima surat izin pemeriksaan dari Gubernur NTB tanggal 16 September lalu. “Suratnya ada sekitar bulan lalu kita terima,” katanya di Polresta Bima, Sabtu (24/10).
Yuyan menjelaskan, kasus itu berawal saat korban Fatimah memberikan kuasa kepada Al untuk mengurus dokumen penjualan tanah roa yang masih menjadi milik istana Kesultanan Bima. Tanah seluas 54 are itu berlokasi di Kelurahan Penatoi Kecamatan Raba Kota Bima. “Agar bisa menjual tanah tersebut tersangka menggantinya dengan lahan miliknya di Kecamatan Bolo,” ujarnya.
Dari hasil penyeledikan, kata Yuyan, Al memperoleh uang Rp 39,5 juta. Namun tidak sepeserpun uang itu yang sampai ke korban. Selain itu, dokumen yang digunakan tersangka ternyata palsu. Akibat tindakannya itu, Al terancam pidana pasal berapis, 263 Junto 266 Junto 378 KHUP dengan ancaman lima tahun penjara.
Dikonfirmasi terpisah Al membantah melakukan penipuan. Menurutnya, posisinya justru membatu Fatimah dalam mengurus dokumen penjualan tanah roa yang sebagian sudah digadaikan. Soal statusnya sebagai tersangka diisyaratkan akan mengikuti seluruh proses hukum. “Tidak ada sedikitpun niat saya seperti itu, saya malah membantu Fatimah,” ujarnya di Sekretariat DPRD Kota Bima.
Menurut anggota dewan dua periode ini, persoalan itu berawal dari luas tanah 64 are, namun sudah dijual Fatimah sebanyak 21 are. Diantaranya sudah digadai ke tatangganya seharga Rp 2.250.000. Sebagai perpanjangan tangan pihak istana, Al mengelarifikasi hal itu, namun Fatimah tidak bisa berkelit karena pada dasarnya tindakan itu dilarang pihak istana.
Untuk bisa mengganti tanah yang dilebur dan digadai itu, kata dia, Fatimah memberi kuasa kepadanya untuk menjual sisa tanah tersebut, seluas 28 are. “Lantas turun surat dari Istana yang menyebut, tanah itu boleh dijual tapi harus ada penggantinya,” katanya.
Setelah itu, Al mengaku memutuskan menjual tanahnya di desa Sondosia Kecamatan Bolo seluas 50 are. Hasil penjualannya, digunakannya untuk menebus tanah yang digadai Fatimah, baru kemudian bisa dijual. “Hasil penjualan 39,5 juta rupiah tersebut sebagian besar menjadi hak saya. Sementara Fatimah hanya mendapat bagian 8 juta rupiah,” katanya. (BE.17)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar