Kamis, 03 Desember 2009

Kena Tembak, tak Boleh Lapor Kakak

SAAT musim hujan tiba, anak-anak di Kelurahan Dodu Kecamatan Rasanae Timur, kembali menghidupkan tradisi perang-perangan. Konon tradisi ini sudah puluhan tahun dan terinspirasi dari nyanyian Jepang Miyoto Kaino Sor Akite. Bagaimana anak-anak di Dodu bermain perang-perangan? Berikut Catatan HM Nasir.


SEPEKAN terakhir, tradisi perang-perangan anak-anak di Dodu mulai ramai. Mereka menggunakan ranting bambu sebagai senjata. Sementara pelurunya memanfaatkan kertas bekas.
Ranting bambu yang lurus dipotong sekitar 30 sentimeter. Lubang ranting bambu diisi dengan kertas basah dan memasukkan rautan bambu kecil untuk mendorongnya. Terdengarlah bunyi letusan. Permainan ini dilakukan anak-anak di Dodu untuk mengisi waktu luang.
Meski hanya permainan, namun sejumlah bocah yang terkena peluru dari kertas memar dikulit. Mereka yang terliba dalam permainan ini rata-rata usai SD dan SMP.
Pantauan Bimeks di Dodu II, Kamis (3/12), hanya sebagian kecil siswa SMA yang terlibat. Mereka membentuk dua kelompok. Satu kelompok berada di bagian timur yang berbatasan dengan jembatan Dodu II dan bagian barat jembatan. Antara dua kubu setelah mengisi “amunisi” masing-masing meraka saling kejar-kejaran dengan perintah komandan masing-masing.
Komandan pasukan bagian timur jembatan, Izhar, mengaku, kebiasaan perang-perangan seperti itu sudah berlangsung lama bahkan puluhan tahun. Mereka mulai perang-perangan jika memasuki musim hujan.
Setiap anak yang ingin terlibat perang-perangan harus menyiapkan senjata bambu sebanyak mungkin. Senjata itu, selain dipersiapakan untuk membela diri ketika diserang, juga untuk merebut dan menguasai daerah kekuasaan lawan. Kalau tidak ada senjata, resikonya menerima berondongan peluru dari lawan.
Makanya, kata dia, sebelum perang perangan dimulai setiap kubu menyepakati untuk tidak marah jika dikerjai lawan. Apalagi, melaporkan kepada kakak maupun orang tua. “Tapi namanya anak-anak ada saja yang menangis jika beberapa peluru lawan memberondong badannya,” kata siswa MAN Bima ini.
Konon, katanya, dulu orang tua bercerita jika komandan perang-perangan ditabuh, nyanyian Jepang Miyoto Kaino Sor Akite, dan Maju tak Gentar menyemangati gelorah anak-anak untuk menghadapi lawan, tak ada rasa takut dan lainnya.
Hal senada dikemukakan komandan pasukan bagian barat, Sahrir. Siswa SMP kelas II ini tak mengaku senang dengan permainan ini. Diakui, pasukannya beberapa kali menguasai dan menduduki daerah lawan.
Mereka menerapkan strategi serangan bohong-bohongan atau tipuan. Semua pasukannya diperintahkan untuk menghemat amunisi, tetapi berani memasuki dan pura-pura menguasai daerah lawan baru menyerang.
“Starategi ini mengecoh lawan disangka menembak, padahal hanya strategis menguasai daerah lawan saja. Kita sering merayakan kemenangan dengan cara ini,” katanya usai peperangan.
Ditanya, apakah tidak menimbulkan permusuhan usai peperangan? Tak ada, semua taat aturan karena sehabis perang-perangan mereka kembali bermain bersama, meski saat berkecamuk perang ada juga yang membela diri dengan mengayunkan kepal tangannya, tetapi lawan tetap memberondongnya dengan peluru senjata.
“Kalau tidak lari, puluhan pasukan lawan akan menyerangnya tanpa ampun. Kalau sportif lawan harus angkat tangan, tanda menyerah,” katanya.
Tradisi seperti ini, katanya, positif dan heroik tidak menyebabkan terjadi bentrokan antara remaja. Apalagi, usai peperangan meraka bergabung dan bercerita satu dengan lainnya. Hanya saja lokasi perang-perangan masih menggunakan jalan umum, sehingga mengganggu pengendara sepeda motor atau mobil berlalu langang di tempat itu. (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar