Senin, 21 Desember 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Jauhkan Kopi saat Mabuk
Ilmuwan di Amerika Serikat menuturkan bahwa kopi tidak bisa membuat seseorang menjadi tenang. Penelitian yang dilakukan oleh tim dari Temple University di Philadelphia menunjukkan minuman yang berkafein membuat seseorang menjadi lebih waspada atau terjaga.
Menikmati suasana clubbing melepas stres kadang membuat orang minum hingga mabuk. Satu hal yang pasti sebaiknya hindari kopi karena kombinasi kopi dan alkohol akan membuat orang mabuk menjadi sangat sulit untuk sadar. "Mitos yang berkembang bahwa kopi bisa menenangkan sama sekali tidak benar, karena konsumsi kafein dan alkohol akan memberikan efek yang buruk dan bisa menimbulkan malapetaka," ujar ketua penelitian Thomas Gould.
Orang yang merasa lelah dan mabuk setelah mengokonsumsi alkohol cenderung lebih bisa mengakui bahwa dirinya mabuk. Sementara kombinasi antara kafein dan alkohol bisa mengarah pada risiko serius bagi orang tersebut.
Berdasarkan penelitian didapatkan kafein gagal dalam mengembalikan efek negatif dari alkohol. Memang seseorang yang mengonsumsi kafein dapat membuat orang tersebut menjadi lebih tenang, tapi jika dikonsumsi saat mabuk bukan ketenangan yang didapat melainkan risiko berbahaya.
Beberapa orang memang percaya bahwa kopi bisa menenangkan orang yang sedang mabuk, tapi sebaiknya mitos ini dihilangkan. "Semua bukti penelitian justru mengarah ke risiko serius yang bisa ditimbulkan dari kombinasi kafein dan alkohol," ujar Dr Gould. Hasil penelitian ini telah dipublikasikan dalam jurnal Behavioural Neuroscience.
Minuman yang bisa menghindari rasa sakit di kepala saat atau setelah mabuk adalah air putih yang telah dicampur dengan madu. Kombinasi minuman ini bisa membuat seseorang menjadi lebih tenang.
Jika Anda memang benar-benar ingin menikmati suasana atau melepaskan stres, sebaiknya kontrol diri agar tidak mabuk. Karena banyak kerugian yang bisa ditimbulkan dari mabuk, seperti terganggunya keseimbangan tubuh, menurunkan sistem kekebalan dan berisiko tinggi terjadinya kecelakaan. (rileks.com)
Kenari Kurangi Risiko Kanker Payudara
Memakan kenari diduga memberi tubuh asam lemak esensial omega-3, anti-oksidan, dan phytosterol, zat yang mengurangi resiko kanker payudara, demikian hasil satu studi yang disajikan pada Pertemuan Tahunan Ke-100 2009 Asosiasi untuk Riset Kanker Amerika.
Phytosterol (yang juga disebut plant sterol) merupakan sekelompok alkohol steroid, phytochemical alamiah yang terdapat pada tanaman.
Phytosterol berbentuk bubuk putih dengan aroma khas yang tak menyengat tidak larut di dalam air dan larut di dalam alkohol. Zat tersebut memiliki banyak manfaat, misalnya sebagai bahan tambahan makanan guna menurunkan kadar kolesterol, serta pada obat dan kosmetika.
Elaine Hardman, pembantu profesor di bidang obat di "Marshall University School of Medicine", mengatakan, meskipun studinya dilakukan pada hewan laboratorium dan bukan manusia, orang mesti memperhatikan saran agar makan lebih banyak kenari.
"Kenari lebih baik daripada kue, buah segar, atau keripik kentang ketika anda memerlukan kudapan," kata Hardman.
Hardman dan rekannya mengkaji tikus yang diberi makan makanan yang mereka perkirakan sama dengan porsi manusia, dua ons kenari per hari. Satu kelompok terpisah tikus diberi makanan yang dipantau.
Pemeriksaan standar memperlihatkan konsumsi kenari secara mencolok menurunkan peristiwa tumor payudara, jumlah kelenjar tumor dan ukuran tumor.
"Tikus laboratorium ini secara khusus memiliki 100% peristiwa tumor dalam lima bulan; konsumsi kenari menghambat perkembangan tumor itu sampai setidaknya tiga pekan," kata Hardman.
Analisis molekuler memperlihatkan, peningkatan konsumsi asam lemak omega-3 memberi sumbangan pada penurunan peristiwa tumor, tapi beberapa bagian lain kenari juga memberi sumbangan.
"Dengan campur-tangan makanan, anda menyaksikan banyak mekanisme ketika berurusan dengan seluruh makanan," kata Hardman. "Jelas bahwa kenari memberi sumbangan bagi makanan sehat sehingga dapat mengurangi kanker payudara." (ant/cax)
Berhaji, Mengejar Kesempurnaan Ibadah
Bagi setiap umat Muslim, di mana pun ia berdomisili, sangat mendambakan bisa menunaikan haji karena ibadah tersebut merupakan suatu kewajiban penting sepanjang hayat masih di kandung badan. Menunaikan ibadah haji menjadi salah satu barometer ketaqwaan seorang umat Muslim, apakah kaya atau miskin, dari mana pun ia berasal, berapa saja usianya, apakah ia berkulit hitam atau pun putih. Berhaji wajib dilaksanakan sepanjang persyaratannya sudah terpenuhi.
Persyaratan calon haji memang selain harus sehat fisik, mental dan mampu secara finansial juga harus memiliki tekad kuat untuk menunaikan rukun Islam tersebut. Setiap umat Islam memang punya kewajiban yang dikenal sebagai rukun Islam, yaitu: mengucap syahadat, mendirikan shalat, berpuasa pada bulan Ramadhan, membayar zakat dan berhaji Dengan melaksanakan rukun-rukun tersebut, seseorang dapat disebut sempurna keislamannya.
Kendati hal tersebut kadang mengundang pertanyaan terkait dengan kualitas haji dan penghayatannya, tetapi yang jelas, sudah melaksanakan semua rukun Islam tersebut dapatlah disebut sempurna keislaman seseorang. Namun untuk mengukur sempurna dan tidaknya keislaman seseorang, hanya Allah semata yang tahu. Demikian pula dalam melaksanakan ibadah haji. Haji adalah ibadah yang relatif tidak begitu mudah dilaksanakan. Untuk melaksanakannya calon haji harus berbadan sehat, dan harus mempunyai perbekalan cukup, selain bagi pelaku, juga bagi keluarga yang ditinggalkannya.
Harus dipenuhinya persyaratan fisik serta kemampuan finansial terkait ibadah haji yang harus dilakukan di lapangan terbuka, di bawah cuaca yang sangat terik sekaligus dingin secara ekstrim, di tempat yang jauh dari tempat tinggal serta dalam waktu lama.Calon haji sebaiknya juga punya bekal pengetahuan yang memadai, khususnya tentang manasik haji atau tata cara melakukan ibadah haji. Lantaran persyaratan yang relatif berat tersebut, tak setiap orang sanggup melaksanakannya dengan sempurna. Tetapi, tetap saja semua umat Muslim menginginkan melaksanakan ibadah tersebut.
Lantas, yang banyak dipertanyakan orang awam dewasa ini, mengapa Allah memerintahkan umatnya melakukan ibadah haji yang cukup berat tadi? Haji pada pokoknya adalah perjalanan mengubah diri menuju kepada Allah. Haji adalah sebuah contoh pertunjukan penciptaan Adam, perjuangan Ibarahim melawan godaan setan dan menegakkan ajaran Allah, serta rangkaian cobaan yang dialami Siti Hajar menghadapi kerasnya kehidupan. Semua peristiwa itulah yang harus dihayati dan diingat oleh umat Islam melalui ibadah haji.
Begitu pentingnya semangat ibadah haji, sehingga ibadah ini hukumnya wajib dan termasuk salah satu rukun Islam. Kewajiban menjalankan ajaran Ibrahim ini diserukan kepada seluruh umat manusia, terlebih kepada umat Islam. Beberapa tahun terakhir, biasanya menjelang prosesi puncak haji yang ditandai dengan wukuf di Arafah, khotib Masjidil Haram memanfaatkan kesempatannya untuk menyampaikan pesan penting dalam beribadah haji. Inti pesan itu menyangkut komitmen mengesakan Allah (tauhid) dan komitmen sosial kemanusiaan (tolong-menolong). Termasuk menjaga kemurnian tauhid dan ketulusan niat ibadah haji.
Dengan cara itulah, maka tujuan ibadah haji yang mengorbankan harta dan tenaga yang besar, yakni haji mabrur bisa diraih. Ketika umat Islam menunaikan ibadah haji, mereka juga harus berpakaian ihrom, yakni dua helai kain tak berjahit bagi laki-laki dan pakaian yang menutupi aurat bagi wanita menjadi simbol persamaan manusia di hadapan Allah. Tak ada kesombongan dan keangkuhan lagi. Pada saat itu Allah menunjukkan kepada umatnya bahwa tidak ada perbedaan antara yang kaya dan miskin, pemimpin dan rakyat, yang hitam dan putih, orang Arab dan non-Arab, kecuali takwa kepada Allah. Manusia harus selalu membersihkan diri dari syirik kepada Allah dengan menjaga kemurnian tauhid hanya kepada Allah sekaligus saling membantu dan tidak menyakiti sesama.
Kini, sekitar tiga juta umat Islam, termasuk dari Indonesia tengah memadati Padang Arafah, sekitar 25 km dari Makkah. Mereka melakukan wukuf yaitu berdiam sejenak di salah satu wilayah yang berdekatan dengan Jabal Rahmah. Wukuf di Arafah merupakan salah satu rukun haji yang harus dilaksanakan umat Islam. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW: al-Hajju Arafat (haji adalah Arafah). Karenanya, mereka yang menunaikan rukun Islam kelima meski dalam keadaan sakit diberangkatkan ke Arafah. Petugas kesehatan membawa mereka yang sakit dalam safari wukuf. Momentum yang amat penting dalam rangka pelaksanaan ibadah haji ini juga mengingatkan seluruh umat Muslim saat Nabi Muhammad SAW menyampaikan pesan-pesan kepada umat Islam pada haji terakhir atau haji wada‘.
Begitu penting pesan-pesan Nabi, hingga Nabi Muhammad SAW meminta kepada yang hadir untuk menyampaikan kepada yang tidak hadir. "Wahai sekalian manusia. Dengarkan kata-kataku ini dan perhatikan! Setiap Muslim adalah saudara bagi Muslim yang lain, dan kaum Muslim semua bersaudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu dari saudaranya, kecuali jika dengan senang hati diberikan kepadanya. Janganlah kamu menganiaya diri sendiri." Melalui pesannya itu, Nabi mengingatkan kepada umatnya untuk saling memelihara persaudaraan, karena melalui persaudaraan insani ini, akan bertambah rasa cinta manusia satu sama lain.
Dalam Islam, rasa cinta demikian tak hanya terhenti di situ saja. Seluruh manusia dari segenap penjuru dunia diminta untuk berkumpul di satu irama yang sama, tanpa adanya diskriminasi.Dan, tempat berkumpul terbaik untuk itu ialah di tempat memancarnya cinta ini, yakni di Baitullah. Ka‘bah, tempat umat Islam menghadap ketika shalat.(*)
Masih Hidupkah Kekuasaan Feodalisme?
Prinsip konstitusi Indonesia adalah negara berdasar hukum bukan negara kekuasaan, dan pemerintahan Indonesia adalah berdasar sistem konstitusi, bukan absolutisme. Namun, konstruksi ke-Tata Negara-an kita menjadi lain sejak pemberlakuan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah (Otda) hingga munculnya produk UU 32/2004 tentang Pemilihan Langsung Kepala Daerah. Inilah yang kemudian memberi peluang secara konstitusional dan politis pada para penguasa daerah untuk menerjemahkan warna kekuasaan menjadi lain sesuai dengan warna lokal.
Fakta kemudian telah membuka jalan bagi daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Peralihan kewenangan itu telah disuguhkan satu resep yang kontras oleh penguasa daerah atas prinsip nilai sebuah kemandirian seperti yang termaktub dalam kehendak konstitusi kita. Sebab itu, stereotipe yang muncul dalam pemerintahan otonomi, bahwa penguasa daerah telah menggeser makna kekuasaan yang sesungguhnya ke dalam bingkai feodalis-absolutisme. Maka kemudian telah tercipta satu sekte baru dalam penyelenggaraan sistem pemerintahan kita dewasa ini, yaitu menguatnya komitmen cultural pengkultusan dalam bingkai legitimasi struktural. Inilah era dimana kembali terbangunnya sebuah kesadaran semu tentang makna kepemimpinan lokal dalam keluhuran tradisi sentris.
Secara normatif, pemberlakuan Otda telah memberikan estafeta peralihan sistem manajeman pemerintahan yang—mungkin—adil bagi beberapa kalangan, yaitu dari sistem terpusat ke sistem desentralisasi lokalistik. Namun, sistem baru tersebut dalam intensitas tertentu telah menimbulkan keterputusan historis (discontinuity) dari berbagai realitas sejarah masa lalu, khususnya sejarah Orde Baru yang otoriter, sentralistik, dan militeristik. Kini telah tergantikan oleh sistem yang persuasif, otoritarian kulturalistik dan mistisme. Inilah satu bentuk pola ketertundukan dengan pendekatan baru kekuasaan yang tengah digulirkan oleh penguasa lokal dalam terminologi otonomi. Lain daripada itu, pemberlakuan paket konstitusi yang sudah satu dekade tersebut akhirnya bermuara termanifestasikannya show of force daerah yang berlebihan. Maka yang terjadi adalah munculnya raja-raja kecil dengan setumpuk embel-embel label sentris-mitos kembali membantah pergulatan dialektika sejarah. Hal ini semata-mata dilakukan untuk menunjukkan eksistensi kesejarahan masa ke dalam struktur masyarakat modern. Mental inilah yang dicoba secara perlahan menekan makna, tanggung jawab, dan kewajiban seorang penguasa dalam bingkai demokrasi. Selain itu, sisten yang dibangun adalah pola monarkis masa lalu. Sebuah fakta narasi feodalisme telah menemukan dirinya di tengah heterogenitas manusia modern yang kacau-balau.
Dapat atau tidak terbentuknya masyarakat utama berdasarkan pandangan tokoh kiri terkemuka dunia Antonio Garamci, bahwa terbentuknya masyarakat utama sangat bergantung pada ketersediaan tidaknya ruang atau pentas pertarungan berbagai inovasi ide, gagasan, atau ideologi. Sebaliknya, prasyarat kedua untuk terbentuknya masyarakat utama adalah lenyapnya feodalisme sebagai ideologi tunggal. Namun, feodalisme akan terkikis dengan sendirinya bila daya kritis dan kreatif masyarakat dibuka. Namun, untuk membuka semua itu perlu diciptakan ruang komunikasi terbuka, termasuk komunikasi politik. Hal inilah yang dilawan oleh kaum feodalisme gaya baru dengan berbagai pendekatan kekuasaan.
Sebagai satu ideologi, feodalisme telah hidup dalam rentang waktu cukup lama. Akan tetapi, dalam perkembangannya pada beberapa kurun waktu, tempat dan kebudayaan yang berbeda, ia—mainstream feodalisme--mendapatkan nuansa yang juga berbeda. Jika di kontekskan dengan menguaknya feodalisme yang berkembang di negeri ini, ada beberapa ciri-ciri yang dapat dikemukakan, bahwa feodalisme sebagai ideologi adalah sebebentuk sosok penjegal peradaban. Definisi ini mungkin agak janggal untuk kita dengar, tetapi inilah fenomena yang muncul di tengah sistem masyarakat yang telah terkonstruksi dalam sistem kekuasaan kita dewasa ini. Ada sebuah narasi, bahwa untuk melanggengkan sebuah mitos adalah memobilisasi sejarah. Inilah fenomena pergulatan kekusaan kita dan domainnya ada di daerah-daerah. Jika era sekarang itu muncul, maka inilah sesungguhnya sosok neofeodalisme (feodalisme gaya baru).
Setidak-setidaknya, ada dua hal yang dijegal oleh sistem feodalisme, yaitu menjegal daya kritis dan daya kreatif. Sebab, dengan tidak berkembangnya daya kritis, rakyat akan selalu "meminta petunjuk" dari atas (baca: kisah para raja). Dengan tidak berkembangnya daya kritis, maka tidak akan berkembang pula daya kreatif masyarakat. Masyarakat selalu diselimuti ketakutan, kalau tidak merasa berdosa, untuk menyampaikan gagasan dan pendapat baru. Ide atau pendapat tersebut justru ditentukan dari atas. Sampai pada ide-ide terkecil pun senantiasa selalu meminta petunjuk dari sang "Baginda". Saat jaman kolonialisme Belanda, feodalisme sengaja dibiarkan hidup demi membendung kedua daya tersebut. Sebab, bila daya kritis dibiarkan hidup maka rakyat akan cenderung berontak. Rakyat yang kreatif akan membuat bentuk-bentuk tandingan dalam manajemen organisasi, rakyat akan membuat ideologi tandingan atau mengubah ideologi yang ada dan ruang-ruang politik lain untuk melawan keterkungkungan mereka.
Sejalan dengan Taufik Abdullah, bahwa dapat dikatakan feodalisme sebagai ideologi masih hidup sampai sekarang, dan sosok itu ada di sekitar kita dalam wujud yang baru, yaitu neofeodalisme yang kini telah berinfiltrasi ke dalam sistem, bahkan hingga paradigma dan keyakinan masyarakat kita. Kedua, daya tersebut di atas sampai saat ini masih belum bisa keluar dari kungkungan jaring kekuasaan feodalisme. Dengan kata lain, masih terjadi penjegalan dan pemberangusan berwajah lembut dan sistemik, khususnya daya kritis dan kreatif. Daya kreatif tentu lahir dari daya kritis dibelenggu dengan cara pelarangan pentas-pentas intelektual, seni-budaya, dan demonstrasi. Bila di dalam lingkungan masyarakat diciptakan apa yang dikatakan Jurgen Habermas dalam Theory of Communicative Action sebagai "ruang publik", sehingga mereka dapat berkomunikasi sekaligus memperoleh informasi, maka daya kritis dan kreatif masyarakat akan tergugah. Namun, untuk mengukuhkan feodalisme tentu prasyarat utamanya adalah bagaimana memobilisasi mitos masa lalu, kekuatan politik untuk melakukan indoktrinasi, dan di sisi yang lain group interest (kelompok kepentingan) yang hanya terbangun dan mengakar hingga kemudian menciptakan simbol dan ideologi tunggal bernama feodalisme sebagai payung. Fenomena ini semakin menyeruak dalam cakrawala politik dan kepemimpinan lokal.
Sebuah metamorfosis palsu mengemuka, bahwa sistem feodal-absolutisme kembali menunjukkan eksistensinya setelah lama punah di tengah tatanan kehidupan manusia. Atau, inilah satu dari sekian sistem ideologi yang telah menemukan bentuknya, dan anehnya, bentuk ini telah mendapat tempat dalam kehidupan masyarakat kita dewasa ini. Jika mengacu pada sejarah, bukankah sifat kekuasaan feodalisme ini jauh lebih otoriter dari kekuasaan totaliter manapun. Apalagi, jika feodalisme telah menjadi prinsip nilai kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan di era modern sekarang.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Kebudayaan dan Sosial (LeKKAS) Bima
Imortalitas Opini Media Massa
Kata-kata di media massa dianggap punya kekuatan, meski ada juga yang menyangsikannya. Tapi situasi akhir-akhir ini di Indonesia jelas-jelas menunjukkan betapa digdayanya media. Betapa kuat kata-kata di media dan dipersepsi sebagai kekuatan yang imortal, yang "nggak ada mati-matinya" (meminjam dialek Betawi). Tengok saja, dalam kasus perseteruan KPK dan Polri, yang sempat membuat berang banyak orang. Bahkan pemberitaan yang mengalir semakin membuktikan bahwa media punya kekuatan untuk mengarahkan opini publik. Ibarat kata, semakin dilarang semakin asyik.
Semakin diimbau malah jadi kebiasaan. Kata "cicak" dan "buaya" yang dipakai merepresentasikan pihak yang bertikai, sebenarnya bukan produk murni dari pers, tetapi justru pers diminta tidak mengembangkan istilah itu lebih jauh. Ini membuktikan bahwa ada semacam kekhawatiran di kalangan tertentu ( terutama pemerintah) atas terjadinya persepsi yang negatif di tengah masyarakat, dan media massa turut andil memperkeruh suasana. Istilah mencuat menyusul menghangatnya konflik antara Kepolisian dan KPK. Istilah itu keluar dari Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji saat dirinya dipojokkan oleh KPK dalam kasus Bank Century.
Istilah cicak dan buaya dalam masalah yang menimpa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah memengaruhi munculnya empati masyarakat, kata psikolog sosial Universitas Diponegoro Semarang, Ahmad Mujab Masykur. "Secara psikologis, istilah itu memicu munculnya empati masyarakat yang besar terhadap KPK yang dianggap sebagai cicak dan berada dalam posisi lebih lemah," katanya di Semarang, Rabu. Ia mengemukakan, masyarakat pasti akan menggalang dukungan dan tidak akan membiarkan pihak yang lemah didera masalah. Apalagi, katanya, pihak yang lemah itu dianggap berperan penting seperti halnya KPK yang bertugas memberantas korupsi. "Masyarakat masih menaruh harapan yang besar terhadap peran KPK sebagai lembaga yang menangani pemberantasan korupsi sehingga mereka tidak bisa terima ketika KPK didera masalah," katanya.
Ia mengatakan, dukungan dari berbagai lapisan masyarakat terhadap KPK pasti akan semakin mengalir dan hal itu wajar mengingat KPK selama ini dianggap sebagai pionir pemberantasan korupsi. "Masyarakat menempatkan KPK sebagai benteng terakhir upaya pemberantasan korupsi, setelah kasus korupsi terkesan tidak bisa diselesaikan kepolisian dan kejaksaan," katanya. Siapa cicak siapa buaya? Kalau KPK dianggap sebagai cicak maka siapa yang dianggap sebagai buaya? Meski sudah diminta agar istilah itu tidak dilansir di media tetapi siapa yang bisa menahan serangan deras media massa? Kalaupun ada permintaan itu hanya terbatas sebagai imbauan bukan larangan. Kata cicak merujuk pada binatang kecil yang ada di rumah. Sedang buaya? Meminjam istilah Renald Khasali: Ada makna khusus di balik karakter buaya . Berdasarkan penelitian, karakter buaya yang berdarah dingin, diamati oleh White sebagaimana dikutip Khasali sebagai karakter ideal untuk menyerang. Selain "sulit mati",karena kulitnya yang keras, ia bisa hidup di mana saja. Ia tidak perlu pergi berburu beramai-ramai.Pergi sendirian pun dilakoninya dengan penuh keberanian.
Ia memisahkan diri dari kerumunannya begitu ia melihat sasaran.Matanya tajam mengintai, tenang, namun begitu lawannya lengah,ia tak memberi kesempatan mangsanya untuk berkutik. Selain itu, orang berkarakter buaya juga memiliki sifat-sifat positif lain. Ia memiliki jiwa disiplin, tidak suka menunda-nunda, selalu mem-"follow-up", dan kuat dalam hitung-hitungan ekonomi. Itu sebabnya, Khasali menilai dia lebih suka mempunyai staf atau atasan yang berkarakter "buaya". Namun seperti mamalia yang terlalu guyub, reptil yang terlalu "buaya" juga bisa menjadi kontraproduktif dan bodoh. Buaya seperti ini sangat arogan dan sangat percaya pada kekuasaan dan kekuatan yang dimilikinya untuk mengoyak-ngoyak pertahanan sasarannya. Ia hanya fokus pada sasarannya tanpa menghiraukan kerusakan habitat akibat ulahnya. Makna negatif Lalu bagaimana peran media dalam hal ini? Mengapa istilah cicak dan buaya menjadi masalah besar hingga Kapolri bahkan Presiden meminta —lebih tepatnya mengimbau pers tidak menggunakan istilah ini?. Kapolri, Jenderal Polisi Bambang Hendarso Danuri sendiri mengakui bahwa istilah Cicak vs Buaya dikeluarkan oleh oknum Jenderal Polisi. Danuri menekankan bahwa istilah itu hanya istilah oknum.
Menurutnya, istilah itu tak pernah dipakai dalam proses hukum di Polri. Bambang Hendarso pun meminta media massa tidak membesar-besarkan istilah `buaya’ dan `cicak’ sebagai istilah Polri vs KPK. Pernyataan tersebut disampaikan Kapolri dalam pertemuan dengan Pemimpin Redaksi sejumlah media massa di kantor Menkominfo, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (02/11).Pada kesempatan tersebut Kapolri meminta maaf karena istilah tersebut membuat sejumlah kalangan merasa gerah. "Kami mohon maaf. Sebutan itu muncul dari anggota kami. Saya berharap agar istilah cicak-buaya jangan diteruskan. Karena sebenarnya kami menjadi bagian itu," ujar Kapolri, Bambang Hendarso Danuri. Sementara itu Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring mempersilahkan media tetap menulis Cicak dan Buaya.
Dia menegaskan tidak akan ada pembungkaman media terkait kisruh antara lembaga kepolisian dengan Komisi Pemberantasan Korupsi.Departemen Kominfo sendiri, kata Tifatul, mendukung adanya kebebasan pers, sehingga ia tidak akan menghalang-halangi media yang menulis istilah Cicak dan Buaya. Lain lagi dengan Presiden. Permintaan untuk tidak meneruskan istilah Cicak dan Buaya juga diminta Presiden SBY lewat jubir Presiden Dino Patti Djalal . Dia mengatakan bahwa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa terganggu dengan penyebutan Cicak vs Buaya dalam kasus penahanan dua pimpinan nonaktif Komisi Pemberantas Korupsi oleh kepolisian. "Presiden kecewa dan terganggu dengan istilah Cicak dan Buaya," ujar Dino di Istana Presiden, Jakarta, Selasa, 3 November 2009. Menurut dia, kekecewaan SBY dilandasi oleh harapan Presiden yang menghendaki agar semua lembaga, baik Kepolisian dan Kejaksaan Agung tetap terjaga kewibawaannya. (bersambung)
"Jadi, tidak ada satupun lembaga yang dikebiri," katanya. "Presiden ingin semua lembaga terus berkarya untuk bangsa." Lalu mengapa kata-kata Cicak dan buaya ini menjadi masalah? dan mengapa media massa diminta untuk tidak membesar-besarkannya? Kalau ditelusur-telusur dan dibenturkan dengan teori-teori Komunikasi, permintaan ini justru menunjukkan bahwa media massa sangat mampu bahkan sangat mungkin menciptakan opini publik yang bisa kontraproduktif bagi kepentingan pemerintah. Imbauan —istilah yang muncul di era reformasi— ini disampaikan kepada para pemimpin redaksi atau Redakstur senior media massa agar menghentikan polemik cicak dan buaya karena istilah itu menunjukkan ada pihak yang lemah ( dalam hal ini KPK sehingga diibaratkan sebagai cicak) dan ada pihak yang kuat dan ‘besar’ ( dalam kasus ini polisi yang digambarkan sebagai buaya). Kata Cicak dan Buaya bisa dikatakan kata yang punya unsur pengasaran (disfemia), yaitu usaha untuk mengganti kata yang maknanya halus atau bermakna biasa dengan kata yang maknanya kasar. Kata cicak diberikan kepada pihak yang dianggap lemah dan kecil yang berani melawan buaya yang dari postur tubuh jelas beratus- bahkan beribu kali lipat lebih besar darinya. Usaha atau gejala pengasaran ini biasanya dilakukan orang dalam situasi yang tidak ramah atau menunjukkan kejengkelan, misalnya kata atau ungkapan mencaplok dipakai untuk mengganti mengambil dengan begitu saja seperti dalam kalimat dengan seenaknya Israel mencaplok wilayah Mesir itu; dan kata mendepak dipakai untuk mengganti kata mengeluarkan seperti dalam kalimat "Dia berhasil mendepak bapak A dari kedudukannya". Begitu juga dengan kata menjebloskan yang dipakai untuk menggantikan kata memasukkan seperti dalam kalimat "Polisi menjebloskan dia ke dalam sel". Namun, banyak juga kata yang sebenarnya bernilai kasar tapi sengaja dipakai untuk memberi tekanan tetapi tanpa terasa kekasarannya. Misalnya pada kata menggondol yang biasanya dipakai untuk binatang seperti anjing menggondol tulang,; tetapi digunakan seperti dalam kalimat "Akhirnya regu bulu tangkis kita berhasil menggondol pulang piala Thomas Cup itu". Bila dilihat dari kasusnya, kata cicak itu diambil oleh ‘oknum’ petinggi Polri sebagai ungkapan terhadap pihak yang kecil ( dalam hal ini KPK yang diibaratkan cicak) yang berani-beraninya melawan pihak yang lebih besar ( melawan Buaya). Upaya pengasaran ini dan upaya pengungkapan istilah peyoratif ini akhirnya dibawa oleh media dan menjadikannya sebagai ‘opini publik’ yang meluas. Kontan saja, Polisi seperti ‘kebakaran jenggot’, mereka tidak mengira bahwa istilah kecil yang dianggap ‘biasa’ muncul dalam pembicaraan biasa di kalangan mereka, bisa jadi bumerang yang siap-siap memangsa mereka. Ini membuktikan bahwa media massa memang berwibawa. Ini menunjukkan bahwa kata-kata tak lagi jadi sekedar kata-kata bila sudah diolah media. Dia bisa menjadi opini publik yang dampaknya bisa meluas ke mana-mana. Apalagi di era reformasi yang menempatkan pemerintah tidak lagi ‘berkuasa’ mengendalikan pers kecuali hanya mengimbau dan meminta tetapi tidak berani memaksa. Opini media perkasa? Dengan adanya imbauan ini membuktikan bahwa opini media memang sangat penting untuk diperhatikan. Paling tidak meminjam istilah Prof Dr Ibnu Hamad Guru Besar UI , media massa saat ini telah menjadi sumber informasi di samping sebagai saluran komunikasi bagai para politisi. Cara-cara media menampilkan peristiwa-peristiwa politik dapat mempengaruhi persepsi para aktor politik dan masyarakat mengenai perkembangan politik. Dalam buku ‘Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa ini, Ibnu Hamad mengatakan media massa melalui fungsi kontrol sosialnya bersama institusi sosial lainnya, secara persuasif bisa menggugah partisipasi publik untuk ikut serta merombak struktur politik. Dalam kasus ini, kontan banyak masyarakat menyampaikan simpati kepada KPK yang digambarkan ‘lemah’ lewat analogi cicak, dan banyak memicu aksi demonstrasi terlebih saat pimpinan nonaktif KPK sempat ditahan meski akhirnya ‘dibebaskan’ lagi. Bila dilihat dari peranan media , aksi demo itu muncul karena adanya opini yang muncul di media massa yang ‘mendeskriditkan’ buaya ( dalam hal ini pihak Polri) dan gara-gara opini ini mereka kahirnya dibebaskan karena Polri mendapat banyak tekanan dari berbagai pihak. Masih menurut Ibnu, keikutsertaan media dalam mengubah sistem politik tiada lain adalah melalui pembentukan opini publik atau pendapat umum ( Public opinion) yaitu upaya membangunkan sikap dan tindakan khalayak mengenai sebuah masalah politik dan atau aktor politik. Dalam kerangka ini, media menyampaikan pembicaraan-pembicaraan politik ( lewat acara dialog, "talk news", "breaking news" atau ulasan mendalam di media). Bentuk pembicaraan politik tersebut dalam media massa antara lain berupa teks atau berita politik yang lagi-lagi di dalamnya terdapat pilihan simbol politik —dalam hal ini fenomena cicak versus buaya— dan fakta politik. Karena kemampuan inilah , media massa sering dijadikan dan ‘menjadikan’ diri mereka sebagai alat propaganda. Karena itu tak mungkin bisa membendung opini media yang sedikit negatif kepada tingkah laku Polri ( baca Pemerintah) terkait penanganan kasus KPK-Polri , tetapi seharusnya pihak Polri memberi Opini Publik tandingan yang tak kalah pentingnya, misalnya dengan mengusut tuntas dan memberi tindakan tegas kepada siapapun termasuk kepada oknum pejabat Polri yang memang bersalah dan terkait baik langsung maupun tidak langsung dalam karut-marut kasus Anggoro- Anggodo ini. * Penulis adalah mahasiswa Program Doktor
"Civil Society" dan Demokrasi Pilkada, untuk Apa? (2)
Kalau saja kita mau jujur, makna civil society yang kita idamkan (walau sebagian) adalah konsep civil society menurut Habermas. Kita telah lama memimpikan ruang publik yang bebas tempat mengekspresikan keinginan kita atau untuk meredusir, meminimalisir berbagai intervensi, sikap totaliter, sikap etatisme pemerintah. Pada ruang publik inilah kita memiliki kesetaraan sebagai aset untuk melakukan berbagai transaksi wacana tanpa harus takut diciduk, diintimidasi atau ditekan oleh penguasa. Model ini sudah lama tetapi sekaligus merupakan format baru bagi kita untuk mereformasi paradigma kekuasaan yang telah dipelintir oleh penguasa Orde Baru.
The free public sphere merupakan inspirator, motivator sekaligus basis bagi mekanisme demokrasi modern, seperti yang dialami oleh Amerika, bangsa Eropa dan kawasan dunia lain. Demokrasi modern secara substantif mengacu pada kebebasan, kesetaraan, kemandirian, kewarganegaraan, regularisme, desentralisme, aktivisme, dan konstitusionalisme. Persoalannya bagaimana cara yang efektif agar spirit demokrasi modern ini bisa disemaikan dengan baik?
Jawabannya, adalah kita mesti membangun dan mengembangkan institusi seperti LSM, organisasi sosial, organisasi agama, kelompok kepentingan, partai politik yang berada di luar kekuasaan negara, termasuk Komnas HAM dan OMBUDSMAN yang dibentuk oleh pemerintah. Hal ini tidak serta merta menghilangkan keterhubungannya dengan negara atau bersifat otonom. Berbagai undang-undang, hukum dan peraturan negara tetap menjadi pijakan bagi setiap institusi dalam melakukan aktifitasnya. Hal terpenting dalam civil society adalah kesetaraan yang bertumpu pada kedewasaan untuk saling menerima perbedaan. Tanpa itu, civil society hanya merupakan slogan kosong.
Civil Society dan demokrasi ibarat "the two side at the same coin". Artinya jika civil society kuat maka demokrasi akan bertumbuh dan berkembang dengan baik. Sebaliknya jika demokrasi bertumbuh dan berkembang dengan baik, civil society akan bertumbuh dan berkembang dengan baik. Itu pula sebabnya para pakar menyatakan civil society merupakan rumah tempat bersemayamnya demokrasi.
Menguatnya civil society saat ini sebenarnya merupakan strategi yang paling ampuh bagi berkembangnya demokrasi, untuk mencegah hegemoni kekuasaan yang melumpuhkan daya tampil individu dan masyarakat. Dalam praktiknya banyak kita jumpai, individu, kelompok masyarakat, elite politik, elit penguasa yang berbicara atau berbuat atas nama demokrasi, walau secara esensial justru sebaliknya. Kesadaran masyarakat akan demokrasi bisa dibeli dengan uang. Kelompok masyarakat tertentu diatur untuk bertikai demi demokrasi. Perseteruan eksekutif dan legislatif saat ini sebenarnya tidak kondusif bagi pemulihan ekonomi kita, tetapi hal itu tetap dilakukan demi demokrasi. Kalau rakyat kecil selalu jadi korban, apakah makna demokrasi yang kita perjuangkan sudah betul? Atau sedang mengalami distorsi?
Dinamika demokrasi diatas sangat mempengaruhi proses Pilkada di Indonesia. Di kabupaten Bima misalkan, perhelatan akbar Pilkada Kab Bima 2010 akan berlangsung enam bulan yang akan datang (April 2009, agenda KPUD Bima), namun suhu perpolitikan pra-Pilkada tersebut semakin hangat. Brainstorming para elit politik Bima, kian hari kian intensif. Sharing communication-pun semakin efektif. Hingga sejauh ini, demokrasi menjelang Pilkada Bima sangat bagus. Tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi ini mengantarkan masyarakat sosial Bima kepada terwujudnya ‘Civil Society’ di Dana Mbojo
Namun, bila Pilkada Bima dinodai dengan kepentingan negative yang menghancurkan konstruksi demokrasi Bima yang baik ini, maka untuk apa Pilkada dilaksanakan? Tentunya kita sama-sama sadari bahwa cost politics Pilkada di Indonesia menghabiskan anggaran Rp5–10 miliar/kandidat/daerah. Rasio anggaran yang dihabiskan untuk 200 Pilkada diseluruh Indonesia pada tahun 2010 ini adalah sebesar Rp2 triliun di luar dari anggaran penyelenggaraan dari KPU maupun anggaran operasional pendamping dari pemerintahan daerah. Bila kandidat/daerah rata-rata tiga kandidat, maka anggaran Pilkada 2010 untuk 200 daerah seluruh Indonesia mencapai Rp6 triliun.
Pilkada merupakan harga mati dari terbentuknya civil society melalui demokrasi yang santun dan beretika. Anggaran yang sangat besar tersebut diatas akan sangat sia-sia bila dinodai dengan perilaku politik yang tidak terpuji. Malah, akan menjadi boomerang tersendiri bagi masyarakat sosial yang bermoral dan memiliki spirit pembangunan yang berkualitas. Lantas untuk apakah Pilkada diselenggarakan, bila civil society bukan menjadi tujuan? Beri kesempatan kepada naluri kita yang menjawabnya.
Penulis adalah mahasiswa STKIP Bima, aktif dalam Komunitas ‘BABUJU’
Miyabi atau Pornografi
Selain pemberitaan tentang gempa 7,6 SR yang mengguncang Sumatera Barat, media cetak dan elektonik akhir-akhir ini kerap kali menjadikan headline atau berita utama seputar kedatangan artis cantik dari Jepang bernama Miyabi. Kedatangannya cukup meresahkan sebagian masyarakat Indonesia. Berbagai aksi demo dan protes datang dari berbagai elemen masyarakat, tokoh agama, forum masyarakat, anak-anak dan sebagainya. Bagaimana tidak, kedatangan Miyabi ke Indonesia di khawatirkan akan membawa virus yang merusak akhlak dan moral masyarakat.
Miyabi, artis cantik muda belia yang merupakan turunan kelahiran dari ibu yang berdarah Jepang dan ayah dari Perancis ini kerap kali membintangi film pengumbar aurat alias pornografi pornoaksi. Gambar-gambarnya bisa dengan mudah diakses di internet oleh siapa saja. Dan karena aksi keberaniannya untuk mempertontonkan keindahan tubuhnya ini, orang tua Miyabi sendiripun membenci anaknya. Terang saja, masyarakat Indonesia yang amat menjunjung tinggi budaya timur dan yang katanya juga masih memiliki rasa malu di buat resah oleh kedatangannya karena di khawatirkan akan merusak moral generasi muda.
Namun, cukup miris, ketika sebagian elemen masyarakat berusaha untuk menghalau kedatangan Miyabi ke Indonesia dengan turun kejalan melakukan aksi-aksi protes, ternyata ada juga masyarakat yang dibuat penasaran dengan gambar-gambar Miyabi. Mereka melakukan penjualan dan pembelian kepingan VCD bajakan bergambar aksi pornografi Miyabi. Bahkan dalam sebuah stasiun televisi, melalui kamera tersembunyi, menayangkan aksi penjualan dan pembelian VCD bajakan Miyabi. Dan ternyata menurut pengakuan penjual VCD Miyabi bajakan tersebut, VCD Miyabi laku keras dengan penjualan per keping VCD dihargai senilai delapan ribu rupiah. Cukup membuat kita geleng-geleng kepala.
Bayangkan, ketika sebagian masyarakat yang peduli dengan keselamatan moral bangsa, ada sebagian masyarakat yang memanfaatkan dengan menjual keping VCD yang secara langsung sudah memberikan kontribusi untuk merusak moral bangsa sendiri. Secara tanpa di sadari, usaha untuk mendapatkan penghasilan atau untuk mencari nafkah, sudah memberikan "sumbangan" sedikit demi sedikit untuk merusak generasi bangsa. Sedangkan dari sisi pembeli, haruskan mencari kepuasan dengan melihat gambar-gambar negatif seperti adegan syur Miyabi? Miris memang!
Namun, terlepas dari kontoversi kedatangan Miyabi, menurut penulis, ada yang lebih substansial dari usaha sebagian masyarakat untuk menghalau kedatangan Miyabi. bukan karena ia seorang warga negara asing, bukan karena ia seorang artis cantik, tapi karena keberanian Miyabi beradegan pornografi dan pornoaksi itulah yang membuat sebagian elemen masyarakat menentangnya. Gambar-gambar Miyabi ternyata tidak hanya heboh di Indonesia tapi juga di negaranya sendiri. Inilah masalah yang substansial, pornografi dan pornoaksi.
Pornografi dan pornoaksi kerap kali dijadikan tumbal utama yang dikhawatirkan dapat menghilangkan rasa malu warga negara Indonesia. Hingga akhirnya para anggota dewan yang terhormat telah mengeluarkan UU Pornografi dan Pornoaksi yang meskipun dengan perjuangan panjang dan penuh kontroversial akhirnya bisa disyahkan juga. Namun, dimana sekarang undang-undang itu? Ketika sebagian dari artis-artis di dalam negeri dengan bebas melakukan aksi syur di majalah-majalah, televisi dan dunia maya, nampaknya undang-undang itu belum berbicara. Sebut saja artis kenamaan bernama panggilan Jupe, sampai saat inipun dia belum terjerat undang-undang pornografi dan pornoaksi. padahal adegan-adegannnya dalam film, iklan, foto-foto mesranya dengan para pria, bahkan keseharinya sering kali mengumbar nafsu bagi yang melihatnya. Tapi nyatanya, dia tetap bisa melenggang tanpa merasa bersalah. Atau juga si penyanyi goyang gergaji, DePe, ia juga bebas beradegan ranjang dengan lawan jenisnya dalam sebuah film horor meskipun berdalih profesional dalam kerja. Namun, dimana posisi undang-undang itu sekarang?
Entahlah, apakah memang terkadang aturan-aturan itu kita buat hanya untuk kita langgar sendiri atau bahkan sekedar dijadikan tolak ukur keberhasilan menjadi anggota dengan yang jago membuat undang-undang. Tapi bagi penulis, Miyabi, Jupe, Depe, si A, si B, dan sebagainya, siapapun dia yang datang untuk merusak akhlak dan moral bangsa kita, baik dari luar negeri dan utamanya dari dalam negeri yang akan langsung dilihat, ditonton dan ditiru oleh masyarakat Indonesia, haruslah kita lakukan perlawanan demi menyelamatkan moral bangsa. Karena berdiri kokohnya bangsa kita, tergantung pada moral dan akhlak generasi bangsa selanjutnya.
Wallahu’alam bi showab.
Penulis adalah pengurus Persaudaraan Muslimah (SALIMAH) Kota Bima
Kegeraman Kaum Muda
Dalam beberapa hari terakhir ini, aksi massa merespons kasus dugaan perselingkuhan oknum pejabat eselon II mewarnai hari-hari Dana Mbojo. Disuarakan oleh massa mahasiswa. Kasus ini memang sudah ‘menasional’ menyusul publikasi yang bisa diikuti publik Indonesia. Ada beberapa hal yang perlu diingatkan, bagi eksekutif dan mereka yang mendesakkan penuntasan kasus itu.
Kasus sensitif seperti itu mesti mendapat percepatan respons yang memadai dari eksekutif. Setidaknya ada ruang dialog yang lebih terbuka. Jika dibiarkan berlarut, bisa menjadi gerakan masif dalam konteks yang tak terkendali--sesuatu yang selalu kita hindari. Eksekutif sebaiknya memaparkan tahapan pemeriksaan atau proses kasus itu agar publik memahaminya, dengan demikian respons yang diberikan lebih proporsional.
Aksi massa yang sengaja tanpa ditanggapi, bahayanya lama kelamaan bisa memicu tindakan yang lebih jauh. Mereka hanya anak-anak masa depan yang geram dengan kenyataan (moralitas). Barisan intelektual muda yang mengeritisi dan menggelisahkan dunia sekitarnya. Ajaklah dalam pembicaraan yang hangat. Bukankah dikuatirkan mereka terjeremban dalam aksi yang berbau anarkis?
Lepas dari itu, sejak beberapa bulan terakhir ini, Dana Mbojo dan NTB umumnya, dalam fokus incaran pengamat media yang melihatnya dari sisi kemunculan aksi-aksi kekerasan yang berpotensi menganggu pembangunan. Sebut saja kasus bentrokan kelompok warga Renda-Ngali, kasus Ketare, dan lainnya. Rangkaian aksi yang ditengarai bisa merusak peluang investasi ke NTB dan itu berarti kerugian bersama. Kondisi ini pula yang ditangkap Pemprov NTB sebagai sesuatu yang menguatirkan. Salah satu potensi yang bisa menimbulkan instabilitas adalah konsentrasi massa. Nah, di situlah masalahnya.
Mendesakan perubahan atau memrotes sesuatu yang dinilai janggal adalah keharusan sejarah bagi kaum muda terpelajar. Tetapi, menjaga keutuhan nilai gerakan dan tanggunjawab terhadap kondisi daerah adalah panggilan sejarah yang mesti ditunaikan. (*)
Pilkada, Netralitas PNS, Incumbent!
(Bercermin pada Pilkada Kota Bima)
Rasanya sudah lama sekali tidak menulis, apalagi di rubrik Sudut Pandang. Unek-unek dan keluhan di kepala, sepertinya sudah penuh dan ingin segera mencari salurannya. Sebetulnya tidak ada alasan bagi saya untuk tidak menulis. Sebab persoalan sosial maupun politik berkembang sangat pesat, bukan hanya dalam hitungan hari, tetapi hitungan detik. Jika beralasan karena sibuk, banyak orang justeru melahirkan banyak buku dan karya tulis di saat mereka sedang sibuk. Sebab kasibukan itu juga bisa menjadi isnpirasi.
Namun terlepas dari itu semua, ada magnet sangat kuat yang menarik saya untuk menulis lagi, yaitu berkaitan dengan Pilkada Kabupaten Bima yang bakal digelar 2010 mendatang. Di sejumlah media cetak sejumlah figur sudah menampakkan diri. Paling tidak, saat ini selain incumbent, H Ferry Zulkarnaen yang belum jelas siapa bakal calon wakilnya, juga ada nama Drs H Suhaidin Abdullah, MM yang berpasangan dengan Drs Sukirman Azis, SH. Pasangan ’Idaman’ ini mengklaim sudah memiliki kendaraan politik yaitu 13 koalisi partai. Pasangan lainnya adalah ’Zaman’ yang merupakan duet Drs H Zainul Arifin dengan Drs H Usmatn AK (pasangan mantan Bupati dengan incumbent wakil bupati). Belum jelas bagaimana prosesnya, 13 koalisi pertai yang sejak awal ingin mengusung H Zainul ini kemudian memilih mengusung Idaman.
Pasangan Zaman adalah merek lama yang plus dan minusnya sudah diketahui masyarakat kabupaten Bima. Ini beda dengan Idaman yang belum pernah memimpin Kabupaten Bima. Artinya, dari aspek politik, dua pasangan ini tentu saja memilki kekuatan dan kelemahan. Terlepas dari hal itu, ada hal menarik yang perlu saya sikapi berkaitan dengan kondisi terkini menjelang Pilkada Kabupaten Bima.
Secara tahapan, sesungguhnya saat ini baru masa persiapan. Artinya, belum masuk pada tahapan Pilkada. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bima sebagai penyelenggara, baru saja mengumumkan pendaftaran calon anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Perangkat penyelenggara di tingkat kecamatan dan desa, hingga KPPS, memang harus segera terbentuk paling telat sebulan sebelum tahapan pertama dimulai pada November 2009. Demikian pula halnya dengan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).
Karena KPU belum membuka pendaftaran calon, maka kandidat yang muncul saat ini baru disebut bakal calon. Mereka harus memenuhi sejumlah persyaratan dan ditetapkan oleh KPU sebagai calon, baru disebut calon. Artinya hingga hari ini, belum ada peserta sehingga apa pun mereka dilakukan, belum bisa diambil tindakan apa-apa berkaitan dengan pemilu, karena belum melanggar apa-apa.
Pilkada adalah proses politik yang berlabel demokrasi. Hasil akhir kompetisi, tergantung pada pilihan rakyat. Tetapi sebelum sampai pada proses akhir itu, ada proses-proses rumit harus dilewati. Di sini dipertaruhkan semuanya, agar setiap kontestan bisa memenangkan pertarungan.
Pada proses ini, sesungguhnya gesekan-gesekan mulai terjadi. Potensi konflik sudah mulai muncul. Cara mencapai kemenangan adalah yang nomor satu. Bagaimana caranya, menjadi tidak lagi penting. Kata lainnya, menggunakan segala cara. Kekuatan finansial dipertaruhkan. Kekuasaan bagi incumbent juga merupakan senjata yang tidak kalah efektifnya.
Kondisi pra Pilkada Kabupaten Bima telah sampai pada tahap ini. Maka jangan heran, gesekan-gesekan mulai muncul. Bukan hanya di tingkat akar rumput yang sudah mulai terkotak-kotak, di tingkat elite pun, mulai panas bahkan mulai melakukan aksi protes. Adalah HM Nur Ak, kakak kandung H Usman Ak, pada Jumat berbicara pada media. Nur Ak memprotes netralitas PNS lingkup Setda Kabupaten Bima, penggunaan mobil dinas untuk kegiatan politik, juga sosialisasi program pemerintah yang seakan menjadi komoditas untuk menaikkan popularitas H Ferry yang merupakan incumbent. Pada posisi wakil bupati, Usman Ak terkesan tidak bisa berbuat banyak, karena bukan rahasia umum, kalau aparat hanya ’takut’ pada Ferry.
Melihat kenyataan ini, saya jadi teringat Pilkada Kabupaten Bima 2005 dan Kota Bima 2008. Dua Pilkada langsung perdana di daerah otonom bersaudara ini, sudah cukup memberikan pelajaran berharga bagi masyarakat bagaimana perilaku politik kita. Yang incumbent dengan kekuasaannya, tentu saja mengekpolitasi apa saja agar bisa tetap langgeng menjadi penguasa. Pada saat itu, para incumbent pun setali tiga uang. Sama saja. Artinya, dari aspek pendidikan politik, para pendahulu sudah memberikan pelajaran yang kurang baik.
Saya ingin mereview Pilkada Kota Bima pada 2008 lalu. Kendati diyakini dukungan masyarakat sangat kuat pada HM Nur A Latif, tetapi proses-proses seperti yang saya ungkapkan di atas juga terjadi. Dengan kekuasaannya, menjelang Pilkada, Nur Latif melakukan apa saja. Program pemerintah yang menyentuh langsung masyarakat, tiba-tiba saja dikucurkan demikian gencar di akhir masa jabatannya atau menjelang Pilkada. Nur Latif demikian intens melakukan kunjungan di setiap sudut kota. Kenyataan ini tentu saja berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya selama masa jepemimpinan Nur Latif.
Ini tentu saja bukan tanpa disain matang dari Pemerintah Kota Bima secara sistem. Tidak mungkin uang yang dikucurkan demikian besar di akhir masa jabatan itu tidak masuk dalam perencanaan penggunaan anggaran Pemerintah Kota Bima. Artinya, secara sistematik memang sudah politis, dan tidak bisa dihindari. Demikian pula dengan aparatnya, pejabatnya, PNS dan lain-lain. Hal serupa juga terjadi dengan politisasi tenaga honor daerah (Honda), tenaga sukarela, guru sukarela dan lainnya. Semuanya bermuara pada kepentingan dan target sendiri-sendiri. Yang Honda dan sukarela ingin segera diangkat, yang pejabat ingin tetap menjabat, yang belum menjabat ingin segera mendapat jabatan. Mereka semua ditarget bukan hanya dirinya yang memilih dan berpihak, tetapi juga anak, istri, keluarga, juga tetangga. Ada semacam komitmen tak tertulis yang harus dilaksanakan. Memang tidak ada isntruksi tertulis soal ini yang bisa dijadikan bukti atas sinyalemen tersebut.
Kalau beruntung, tentu akan mendapatkan apa yang mereka inginkan. Yang menjabat bisa terus menjabat, yang belum jabatan bisa mendapatkan jabatan yang ditinggal pejabat yang ’tidak loyal’, yang belum diangkat segera diangkat dan sebagainya. Tetapi yang ’melawan,’ berujung pada penggusuran. Hal terakhir inilah yang paling ditakuti. Bukan saja kehilangan jabatan yang manjadi taruhan, tetapi dipindah ke daerah terpencil adalah risiko yang paling tidak disukai. Dalam konteks ini, PNS sesungguhnya nyaris tidak memiliki kemerdekaan secara politis, keculi mereka melawan dengan konsekwensi yang tidak disukai. Bahkan para pejabat terpaksa diparkir di staf khusus.
Pada Pilkada Kota Bima, ada pertarungan besar yang sama-sama memposisikan pejabat dan PNS di jajaran Pemerintah Kota Bima dan Kabupaten Bima, pada kondisi yang sama. Pertarungan antara incumbent, HM Nur A Latif dengan Subhan HM Nur yang dudukung Partai Golkar pimpinan Ferry Zulkarnain yang merupakan Bupati Bima. Yang unik adalah, sebagian besar PNS dan pejabat di Pemerintah Kabupaten Bima adalah pemilih, karena mereka berdomisili di Kota Bima. Ada dua kepentingan pada dua istitusi besar yang bernama Pemkab dan Pemkot. PNS Pemkab diminta ’loyal’ pada pimpinannya, PNS Pemkot juga demikian.
Saya sempat berpikir, sungguh tidak enak menjadi PNS, karena nyaris tidak memiliki hak politik. Model politik balas dendam yang kita pertontonkan, menjadi momok yang sangat menakutkan. Dukung atau tidak dukung, sama-sama memiliki konsekwensi. Ibarat berjudi, ada pula yang berani bertaruh dengan nilai besar. Bahkan yang lebih memprihatinkan, karena takut kepada atasannya, ada staf di Pemkab Bima yang terpaksa memotret dengan kamera handphone jarinya saat memilih pada Pilkada Kota Bima 2008 lalu.. ’’Ini adalah bukti kalau saya sudah memilih calon yang dikehendaki atasan saya,’’ katanya suatu waktu.
Apakah pilihannya itu sesuai dengan hati nurani, belum tentu. Karena pilihan mereka memang ’diarahkan’ kalau tidak ingin disebut dipaksakan. Sekali lagi, dalam konteks ini, PNS bukannya tidak ingin netral, tetapi ada kekuatan politik yang sengaja menggiring untuk tidak netral. Mereka nyaris tidak bisa menjadi pencerah bagi rakyat di desa yang butuh pencerahan, karena didominasi oleh faktor-faktor tidak rasional seperti di atas.
Apa yang terjadi ini sesungguhnya jelas-jelas melanggar Undang-Undang yaitu memakasakan seseorang atau mempengaruhi seseorang degan tekanan dan intimidasi dalam menggunakan hak pilihnya. Tetapi sayangnya, hal ini sangat sulit untuk bisa dibuktikan. Belum ada PNS yang berani secara terbuka melawan atasan kemudian melaporkan kepada Panwaslu sebagai tindak pidana pemilu.
Demikian pula dengan dukungan terbuka, ketika Nur Latif turun ke kelurahan-kelurahan. Spanduk dukungan di acara resmi pemerintah pun bermunculan. Yang medisain adalah para pejabat, di tingkat kecamatan maupun kelurahan. Bahkan pernyataan dukungan terbuka dalam pidato sambutan datang dari para Kepala Kelurahan saat menyambut Nur Latif. Lalu adakah kasus-kasus itu sampai ke pengadilan? Sangat tergantung pada wasit pertandingan dalam hal ini Panwaslu.
Pada Pilkada Kota Bima, tidak ada satupun kasus pidana pemilu yang disidangkan di Pangadilan Negeri Raba Bima. Coba bandingkan dengan Pemilu Legislatif dan Presiden di Kota Bima dengan Panwaslu yang berbeda. Ini tentu bukan karena saya yang menjadi Ketua Panwaslu Kota Bima, tetapi faktanya memang demikian. Mestinya ada kemauan kuat setiap orang untuk menegakkan aturan ketika punya peran.
Lalu apa sanksi administratif yang diberikan oleh Sekretaris Daerah Kota atas ketidaknetralan PNS, pejabat, pegawai honda dan tenaga sukarela di Kota Bima saat itu? Tidak ada. Mungkin akan ada sanksi kalau yang menang bukan Nur Latif. Kenyataan ini telah memperkuat tudingan bahwa aturan telah dimpatkan pada perspektif kepentingan. Belakangan kabarnya, justeru yang tergusur adalah mereka yang netral, yang profesional dan tidak ingin terlibat. Kelompok pejabat dan PNS seperti ini justeru dianggap ’bersalah’ atas pelajaran politik yang baik untuk rakyat di masa depan.
Kata loyalitas, selalu menjadi senjata penguasa untuk menekan bawahannya. Kata loyakitas yang kerap diucapkan pun seorang Walikota atau Bupati, sebetulnya dalam kondisi normal tidak punya sayap makna. Tetapi dalam konteks sekarang ini, bisa bermakna ancaman. Dalam politik, menggunakan segala cara, adalah sah-sah saja yang penting tujuan tercapai. Sejauh ini, memang demikianlah praktik yang dianggap lazim di negara kita. Kata loyal mestinya bukan kepada orang perorang karena poisisinya yang tidak abadi. Loyal harusnya dimiliki setiap aparat yang diarahkan pada sistem, pada negara, juga kepada rakyat. Siapapun yang menjadi pemimpin, aparat harus tetap loyal dan taat pada aturan main yang ada.
Saya sering sekali membaca berita media tentang tekanan seorang Bupati atau Walikota berkaitan dengan loyalitas ini. Dalam pandangan saya, pada saat menjelang Pilkada seperti sekarang, makna loyalitas cenderung digunakan untuk menekan kebebasan politik PNS yang harusnya netral. Demikian pula dengan soal rahasia negara. Seakan memberikan keterangan pers bagi pejabat menjadi tabu. Hanya Humas yang boleh berbicara, padahal pejabat Humas bukanlah manusia paripurna yang mengusai semua hal teknis di seluruh dinas dan badan yang ada. Tidak semua urusan adalah rahasia negara, karena sesungguhnya lebih besar hak publik daripada rahasia negara dalam konteks negara demokrasi yang dibangun di atas kedaulatan tertinggi di tangan rakyat. Demikian pula dengan konsep good govenrnance. Kebijakan publik harusnya melibatkan rakyat agar dalam implementasinya tidak menemui kegagalan. Sebab yang harus diputuskan untuk dilaksanakan itu adalah yang dibutuhkan rakyat, bukan yang dikehendaki pemimpin.
Netralitas PNS sejauh ini sebetulnya masih slogan semata. Mereka hanya menjadi bulan-bulanan untuk memuluskan kepentingan incumbent maupun penguasa. Dalam konteks ini, mereka akan menjadi obyek politisasi intelektual dengan jumlah besar. Ribuan PNS dipertaruhkan. Mereka berada pada posisi yang serba tidak enak bagi sebagiannya dan bisa saja enjoy pada sebagian lainnya. Pada tataran tertentu, kelompok enjoy ini telah merasakan manfaat besar selama lima tahun incumbent memimpin. Mereka sangat tidak ingin terusik posisinya karena perubahan kepemimpinan. Maka kata teruskan, lanjutkan, atau apalagi adalah slogan yang ’wajib’ untuk disuarakan. Kalau tidak, maka ancaman sanksi atas nama ’loyalitas’ sudah menanti.
Dengan bangunan pemerintah yang demikian ini, sebetulnya sangat merugikan rakyat dan daerah. Sebab orang-orang yang diangkat untuk menjabat posisi tertentu, belum tentu the right men in the rght place. Maaf, ada pandangan sebagian kalangan, bahwa kelompok enjoy yang bisa mendapatkan posisi adalah mereka ---walau tidak semua--- yang bisa ‘membangun komunikasi’ dengan pemegang kekuasaan, walaupun kemampuan lain belum tentu mendukung. .
Hal seperti ini sudah bukan rahasia lagi. Kalaupun tidak mengandung kebenaran, para pihak terkait mestinya bisa memberikan argumentasi yang masuk akal tentang posisi mereka dari berbagai aspek. Baperjakat yang mestinya sangat strategis, nyaris hanya atas nama untuk melegitimasi keputusan-keputusan politis. Tidak punya peran yang signifikan, padahal lembaga ini dibuat bukan sekadar pajangan.
Berkaitan dengan penggunaan fasilitas negara, kendaraan dinas adalah salah satunya, demikian pula dengan APBD. Memang tidak elegan kalau ditempeli dengan stiker incumbent secara menyolok apalagi dengan tulisan ‘’Teruskan Pemerintahan.’’ Bukankah pemerintah akan tetap berjalan siapa pun pemimpinnya. Pemerintahan tidak akan bubar di jalan, selama negara ini masih ada. Tidak perlu dibantah pun, masyarakat kecil juga tahu bahwa itu maksudnya adalah dukungan. Kalau soal dalih pembenar, saya kira semua orang bisa mencarinya. Harusnya kata-kata yang mengarah kepada slogan politik, tidak bisa disandingkan dengan seorang Bupati yang akan menjadi calon kemudian mengenakan baju dinas, apalagi ditempel di mobil dinas. Sekali lagi, ini dalam perspektif saya. Soal ini pasti akan munculkan protes dari bakal calon lain. Diperlukan Panwaslu yang kuat menangani berbagai kasus yang bakal muncul ini.
Lalu bagaimana dengan Pilkada Kabupaten Bima 2010 mendatang? Pertistiwa 2005, hampir pasti akan terulang. Dalam posisinya sebagai Walikota Bima HM Nur A Latif akan turut mewarnai jalannya proses demokrasi di ’negeri’ tetangga ini. Nur Latif akan mainkan peran strategis seperti yang pernah diperlihatkan pada Pilkada Kabupaten Bima tahun 2005. Ketika itu, hubungan Pemkab dengan Pemkot sepertinya tidak harmonis. Hal itu dipicu oleh soal penyerahan aset yang dianggap tidak sungguh-sungguh dilakukan oleh Pemkab Bima.
Ada dua pandangan soal ini. Yang pertama menganggap, Kota Bima sebagai anak durhaka karena melawan ibu yang melahirkannya dengan terus mempersoalkan aset. Menjadi anak yang tidak tahu diri dan mestinya tidak mempersoalkan apapun pada ibunya. Sementara pandangan lainnya, sebagai bayi, Kota Bima masih butuh asupan gizi yang cukup agar bisa tumbuh dan berkembang. Gizi ini tentu saja berupa aset yang harus segera diberikan. Bukan hanya itu, ibarat anak yang baru pisah rumah, harus segera diberikan hak warisnya untuk melanjutkan hidup di rumahnya yang baru.
Soal aset telah memicu disharmoni antara keduan pemerintah otonom ini. Dengan dalih agar prosesnya lebih cepat, memperjuangkan pasangan Drs H Usman Ak yang saat itu menjabat Sekda di Kota Bima dengan Ferry Zulakrnain yang menjabat Ketua DPRD Kota Bima, adalah salah satu cara untuk mempercepat proses penyerahan aset. Nur Latif yang sudah jor-joran mendukung pasangan Ferry-Usman hingga berkontribusi menjadi pemenang, ternyata kecele. Pasangan ini setelah resmi memimpin, tidak berbeda jauh dengan pemerintahan pendahulunya. Aset yang diharapkan pun, tidak kunjung didapat sesuai dengan harapan. Bahkan terkesan lebih rumit. Tak ayal membuat Nur Latif kecewa.
Apakah Nur Latif akan ambil bagian lagi? Hampir pasti terjadi, tetapi saya berpandangan, motivasinya berbeda. Bukan lagi soal aset. Nur Latif akan melupakan aset karena dia tidak akan bisa menjadi Walikota untuk ketiga kalinya. Pria yang lincah dan punya energi yang sangat besar, tentu punya rencana lain atas pertarungan 2010. Nur Latif mungkin mencari pendukung (atau menyingkirkan saingan) yang akan memuluskan rencananya menjadi gubernur Pulau Sumbawa pertama. Kendati daerah kekuasaan yang bernama Provinsi Pulau Sumbawa ini masih di awang-awang, itulah Nur Latif. Tidak pernah kehabisan ide. Tetapi tetap saja menarik karena atas nama loyalitas di atas, masih ’berkuasa’ atas ribuan PNS di lingkup Pemkot Bima dalam menggunakan hak politik PNS.
Sebetulnya, menurut hemat saya, para incumbent tidak perlu terlalu risau soal dukung mendukung ini. Jika selama memimpin telah berbuat yang terbaik, tidak perlu ragukan loyalitas bawahan. Semuanya itu akan berjalan secara wajar. Mestinya bagi negara kita yang sedang belajar berdemokrasi, pondasi politik yang dibangun adalah politik yang elegan, politik yang sehat. Pendekatannya, bukan kekuasaan, tetapi prestasi dan dedikasi. Kalau sudah seperti ini, maka masyarakat insyaallah akan punya penilaian sendiri. Mereka akan bangga dan sukarela memilih karena mereka memang mencintai dan menyukainya. Bukan karena takut karena intimidasi, apalagi karena dibayar. Pendekatan di ujung dan mendekati pelakasanaan Pilkada, kendati efektif tetapi sekali lagi bukan suatu pondasi berdemokrasi yang baik. Pasti Anda tahu apa yang dilakukan para bakal calon saat ini. Hadir ramai-ramai di acara rakyat, bahkan nikah seorang anak rakyat kebanyakan sekalipun, selalu dinanti. Suatu kebiasan dadakan yang tidak lazim. Kepentingan mereka hanya satu, yaitu untuk diri mereka sendiri. Untuk mendapatkan dukungan dan untuk memuluskan jalan menuju kekuasaan. Lihatlah sekarang, adakah calon pemimpin atau partai yang datang ke Padang untuk membantu rakyat yang tetimpa gempa? Sepi.
Kalau pendekatan prestasi yang menjadi motivasi, maka saya yakin daerah ini segera maju. Saya jadi teringat dengan Pilkada Gorontalo tahun 2006 lalu. Pada saat itu, Fadel Muhammad terpilih secara meyakinkan dengan meraup 80 persen suara. Angka tertinggi jika dibandingkan dengan yang pernah diraih oleh calon-calon pada Pilkada lain di Indonesia. Fadel tidak menggunakan senjata loyalitas untuk mendapatkan dukungan. Dia hanya menunjukkan bahwa dia berprestasi dan mampu membangun Gorontalo. Dia tidak hanya tebar senyum, tetapi tebar kemajuan baut rakyat Gorontalo. Pemimpin seperti ini tidak membuat perubahan menyolok bagi keluarga dan kelompoknya, tetapi yang nomor satu adalah bagaimana caranya agar rakyat bisa segera bangkit dari keterpurukan. Selama memimpin, Fadel sudah membuktikannya.
Mantan Bendahara DPP Golkar ini terpilih menjadi Gubernur Provinsi Gorontalo dan memimpin daerah ini hinga 2011 mendatang. Periode pertamanya berakhir 10 Desember 2006. Sebagai gubernur, visinya jelas, membangun Gorontalo dari ketertinggalannya agar mandiri. Berbudaya. Bersandar pada moralitas agama. Fadel bertekad mengakselerasi pembangunan Gorontalo sebagai provinsi baru, sejak dimekarkan dari Provinsi Sulawesi Utara pada 2001.
Intinya, Fadel telah menunjukkan bahwa dia berprestasi. Itu sebabnya rakyat memilih dengan ’sukarela,’ dan bukan dengan tekanan, intimidasi atau membeli suara. Kita perlu pemimpin Bima di masa datang seperti Fadel, berprestasi, dicintai rakyat, karena memang berbuat untuk rakyat. Kalau Anda, seorang calon, termasuk incumbent saatnya evaluasi diri. Apakah merasa sudah berbuat untuk rakyat (bukan sekadar klaim), maka yakinlah Anda pasti dipilih karena memang dicintai oleh rakyat. Bagaimana pendapat Anda?
Penulis:
Khairudin M. Ali, Wartawan Harian BimaEkspres, Ketua Panwaslu Kota Bima.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar